BEBERAPA CATATAN BUKU MEMBONGKAR PROYEK KHILAFAH ALA HT DI INDONESIA (BAGIAN PERTAMA)
Oleh :Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Pada bagian pengantar penulis hlm. xviii penulis menyatakan:
“pada akhir-akhir menjelang kembali “pulang”, penulis mulai merasakan
adanya dimensi “ketidakmenerimaan” atas apa yang dilakukan para ikhwan
dan pengurus HTI dalam memperjuangkan cita-cita puncak mereka: Negara
Islam…”.
Tanggapan:
Penulis yang mengaku pernah menjadi hizbiyyin tentu tahu persis bahwa tujuan HT adalah melanjutkan kehidupan Islam
(isti’naful hayati al islamiyyah), sedang khilafah (Negara Islam) adalah metodenya
(bi thariqati iqaamatil khilafah).
Maka jelas tujuan puncak HT adalah melanjutkan kehidupan Islam yang
terputus sejak runtuhnya khilafah Ustmaniyyah pada tahun 1924.
Selanjutnya penulis mengutip tulisan di majalah al wa’ie tentang apakah HT Wahabi?
“…Penegakkan khilafah untuk mengembalikan ke daulatan di tangan Allah
lebih penting dan lebih utama untuk direalisasikan daripada masalah
akidah” (hlm. 40)
Tanggapan:
Kalimat di atas jika tidak ditulis secara utuh berpotensi menimbulkan
kesalahpahaman. Berikut kami kutipkan redaksi lengkap dari tulisan yang
dikutip penulis:
Pandangan ini, menurut Hizb, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Nidâ’ al-Hâr,
tidak proporsional. Betul, bahwa ada masalah dalam akidah umat Islam,
tetapi tidak berarti mereka belum berakidah Islam. Bagi Hizb, umat
Islam sudah berakidah Islam. Hanya saja, akidahnya harus dibersihkan
dari kotoran dan debu, yang disebabkan oleh pengaruh kalam dan
filsafat. Karena itu, Hizb tidak pernah menganggap umat Islam ini
sesat. Hizb juga menganggap, bahwa persoalan akidah ini, meski penting,
bukanlah masalah utama. Bagi Hizb, masalah utama umat Islam adalah
tidak berdaulatnya hukum Allah dalam kehidupan mereka. Karena itu,
fokus perjuangan Hizb adalah mengembalikan kedaulatan hukum Allah,
dengan menegakkan kembali Khilafah.
Bagi Hizb, akidah umat harus dibersihkan agar bisa menjadi landasan
yang kokoh dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara. Setelah itu,
akidah yang hidup di dalam diri umat ini akan mampu membangkitkan
mereka dari keterpurukan, dan akhirnya mendorong mereka untuk
memperjuangkan tegaknya Khilafah dan hukum Allah di muka bumi. [1]
Pada halaman 59 penulis mengutip Zeyno Baran dalam hal menyamakan HT
dengan Bolshevik: “ HT sangat mirip dengan Bolshevik. Yang sama-sama
mempunyai utopian ultimate goal (Communism vs. Chaliphate) dan sama-sama tidak menyukai liberal democracy dan sama-sama berupaya menegakkan
mythical just society…”.
Tanggapan:
Apa maksud dari kutipan di atas? Padahal penulis sedang menjelaskan
bahwa diantara metode HT untuk meraih tujuannya adalah nirkekerasan.
Apakah kalimat di atas sengaja dikutip untuk menggambarkan HT sebagai
monster yang membahayakan atau setidaknya melabelkan bahaya laten.
Padahal di halaman 172-173 penulis mengakui kemungkinan tegakkan
khilafah, sekecil apapun kemungkinan itu.
Jadi, menafikan kemungkinan terwujudnya khilafah adalah sikap gegabah
dan terburu-buru, seperti kesimpulan yang disampaikan oleh Abd. Moqsith
Ghazali dan Farish A. Noor, pengamat politik dan HAM Malaysia (hlm.
172). Potensi kea rah tegaknya khilafah memang kecil, tetapi bukan
sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan (hlm. 173)
Lebih dari itu eksistensi khilafah bukanlah suatu hal yang utopia.
Khilafah adalah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Berbeda
dengan masyarakat komunisme yang belum pernah ada realitasnya.
Di halaman 60, ditulis:
“Kekerasan apa pun bentuknya jelas dilarang-kecuali dalam kondisi tertentu- sebagaimana dijelaskan dalam satu hadist Nabi:
Kami tidak akan merebut perkara (kepemimpinan) dari ahlinya. Nabi
bersabda, kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian bisa
membuktikan di hadapan Allah (HR. Bukhari)[2]
Namun demikian, terdapat paradox dalam salah satu karya an-Nabhani yang
menjelaskan kewajiban memerangi penguasa yang menampakkan kekufuran
secara nyata dengan menerapkan hukum kufur”[3]
Tanggapan
Saya heran dan binggung dengan apa yang dimaksud paradoks. Bukankah
tidak terdapat paradoks antara hadist yang dikutip dalam kitab
afkaru siyasiyah dengan kesimpulan yang dikutip penulis dalam kitab Mitsaq al-Ummah dan kitab asy syakhshiyyah al islamiyyah juz II.
Jelas bahwa kondisi tertentu yang dibolehkan memerangi penguasa yang
Nampak darinya kekufuran yang nyata. Diantara kekufuran yang nyata
adalah mengubah sistem Islam yang diterapkan suatu Negara dengan sistem
selain Islam.
Di halaman 63 penulis menulis:
“ Demikian pula anggota HTI diharamkan mendirikan organisasi
sosial/yayasan sosial, pesantren, sekolah, koperasi, kantor tenaga
kerja, balai latihan kerja. Namun, bukankah sebagian anggota HTI tahun
2000-an mendirikan lembaga pendidikan di Surabaya (SBI dan STIES) dan
lembaga kursus computer”.
Tanggapan:
Mengapa pernyataan di atas (kalimat pertama) tidak didasarkan referensi
atau catatan kaki sedikit pun?. Padahal penulis mengklaim bahwa
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (
library research).
Bagaimana membangun kontradiksi sementara kontradiksi tersebut
dibangun berdasarkan asumsi. Fatalnya lagi asumsi tersebut tidak benar.
Di kitab mutabannat atau nasyrah HT mana yang melarang syabab HT
(sebagai individu) membangun sekolah, pesantren, dan lembaga usaha?
Pada halamana 69 penulis menyatakan:
Setelah mengutip hadist di atas (HR. Ahmad tentang fase umat Islam dan
kembalinya khilafah rasyidah), mereka menambahkan dengan surah an-nur
ayat 55 yang berisi janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Lalu
mereka menjelaskan bahwa
إننا في حزب التحرير نؤمن بوعد الله و نصدق بشري رسول الله
(kami di hizbut tahrir mengimani janji Allah dan membenarkan kabar
gembira Rasulullah). Menariknya, hadist di atas yang bukan hadist
mutawatir, dijadikan sebagai “iming-iming” yang diyakini dan
dibenarkan.”
Tanggapan:
Penulis saya kira terbalik saat menyatakan “Setelah mengutip hadist di
atas, mereka menambahkan dengan surah an-nur ayat 55…”. Yang benar
adalah ayat 55 dari surah an-Nur dikutip lebih awal, baru hadist di
atas.[4]
Jika penulis jeli dari kitab di atas, pilihan kata yang digunakan juga
sangat jelas. Bahwa untuk janji Allah mengunakan redaksi kami mengimani
(نؤمن) sedang terhadap hadist digunakan redaksi kami membenarkan
(نصدق). نؤمن adalah redaksi untuk menunjukkan pemenaran yang bersifat
pasti
(at tashdiq al jazm), sedang redaksi نصدق tanpa tambahan jazm menunjukkan tashdiq atau pembenaran secara umum. Sehingga
clear sikap HT terhadap hadist di atas membenarkan hanya saja tidak dengan pembenaran yang bersifat pasti. Dimana tidak konsistennya?
Adapun jika ucapan khilafah pasti akan berdiri, karena khilafah
merupakan janji Allah. Padahal Allah SWT pasti terwujud karena Allah
tidak pernah menyelisihi janji-Nya. Mengomentari ayat 55 dari surah
an-Nur Imam Ibnu Katsir menyatakan:
هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم . بأنه سيجعل أمته خلفاء
الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح البلاد، وتخضع لهم
العباد
Ini adalah janji dari Allah SWT bagi Rasul-Nya saw. Bahwa Allah akan
menjadikan umat Nabi saw pemimpin-pemimpin di bumi, yaitu: pemimpin
manusia dan wali-wali mereka, dan negeri-negeri menjadi baik, dan
tunduklah hamba-hamba.[5]
Di halaman 80 penulis menyatakan:
“adapun yang berkewajiban meengangkat atau membai’at khalifah adalah
seluruh kaum muslimin. …hal yang sama berlaku pada tokoh-tokoh kaum
muslimin, yang dalam bahasa Zallum disebut
ahl al hall wa al ‘aqd”
Tanggapan:
Redaksi “…yang dalam bahasa Zallum disebut
ahl al hall wa al ‘aqd”. Menyiratkan seolah-olah istilah
ahl al hall wa al ‘aqd
adalah istilah baru yang dimunculkan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum.
Padahal istilah ini bukanlah istilah yang baru. Imam al Mawardi dalam
kitab al ahkam as sulthaniyah berulang kali menggunakan istilah ini,
diantaranya:
فَأَمَّا انْعِقَادُهَا بِاخْتِيَارِ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ
Adapun sahnya (terwujudnya) Akad imamah adalah dengan pilihan (tanpa paksaan) dari
ahlu al hall wa al ‘aqd[6].
Pada halaman 83. Penulis menyatakan:
“Hizb al-Tahrir memaknai wazir dalam hadist di atas sebagai pembantu
dalam sengala urusan pemerintahan. Tampaknya pemaksaan tersebut sengaja
diformulasikan agar memiliki legalitas eksistensi dan fungsi seorang
wazir.”
Tanggapan:
memang benar pada masa Nabi mengangkat dua wazir (pembantu). Umar untuk
urusan zakat dan Abu Bakar untuk urusan haji. Abu Bakar mengangkat
Umar sebagai pembantu di bidang peradilan (qadha). Demikian juga Ali
dan Utsman pada masa Umar. Kenyataan ini berlanjut hingga pada masa Abu
Bakar ketika peran Umar sebagai mu‘âwin Abu Bakar sangat menonjol
dalam wewenang yang bersifat umum dan perwakilan sampai pada tingkat di
mana sebagian Sahabat pernah berkata kepada Abu Bakar, “Kami tidak
tahu, apakah Umar yang menjadi khalifah ataukah engkau.” Meskipun
demikian, Abu Bakar telah menugasi Umar untuk menangani masalah qadhâ’
(peradilan) dalam beberapa waktu tertentu, sebagaimana riwayat yang
dikeluarkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang dikuatkan oleh al-Hafizh.
Atas dasar ini, faedah yang bisa diambil dari sirah Rasulullah saw. dan
Khulafaur Rasyidin yang datang sesudah Beliau adalah bahwa Mu‘âwin
diberi wewenang dan otoritas yang Mu’âwin at-Tafwîdh bersifat umum
sebagai wakil. Akan tetapi, mu‘âwin boleh dikhususkan untuk posisi atau
tugas tertentu. Hal itu seperti yang dilakukan Nabi saw. terhadap Abu
Bakar dan Umar, juga seperti yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar.
Hal senada diungkapkan oleh Imam al Mawardi saat menjelaskan tentang wewenag wuzara tafwidl, beliau menyatakan:
وَالْوَزَارَةُ عَلَى ضَرْبَيْنِ : وَزَارَةُ تَفْوِيضٍ وَوَزَارَةُ تَنْفِيذٍ .
فَأَمَّا وَزَارَةُ التَّفْوِيضِ فَهُوَ أَنْ يَسْتَوْزِرَ الْإِمَامُ مَنْ يُفَوِّضُ إلَيْهِ تَدْبِيرَ الْأُمُورِ بِرَأْيِهِ وَإِمْضَاءَهَا عَلَى اجْتِهَادِهِ ، وَلَيْسَ يَمْتَنِعُ جَوَازُ هَذِهِ الْوَزَارَةِ ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ نَبِيِّهِ مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : { وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي هَارُونَ أَخِي اُشْدُدْ بِهِ أَزْرِي وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي } . ( الأحكام السلطانية للماوردي ص. 36)
Pembantu khalifah itu ada 2, yaitu: wuzara tafwidl dan wuzara tanfidz.
Adapun wuzara tafwidl ialah yang membantu khalifah untuk membantu
tugas-tugas pemerintahan berdasarkan pendapatnya dan ijtihadnya.
Pengangkatan wuzara semacam ini boleh (absah). Allah berfirman mengenai
kisah Nabi Musa as. “Dan jadikanlah untuk seorang pembantu dari
keluargaku, (yaitu) Harun, saudarku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku.
Dan Jadikanlah dia sekutu dalam urusanku (QS. Thaha: 29-32)
Pada halaman 106 penulis menyatakan:
“Bagi HT, kewajiban menegakkan khilafah merupakan mahkota dari segala
kewajiban yang dibebankan Allah kepada umat Islam. Menurut mantan Ketua
Umum DPP HTI, menegakkan khilafah merupakan kewajiban paling agung
dalam agama. Sementara pihak-pihak yang tidak berniat menegakkannya
maka mereka berdosa, bahkan sebagai perbuatan maksiat yang paling
besar”. Untuk mendukung pernyataannya penulis kemudian mengutip buku
khilafah adalah solusi, terbitan Pustaka Thariqul Izzah,hlm. 28-29.
Tanggapan:
tentang wajibnya menegakkan khilafah, bahkan kewajiban yang paling
agung, sesungguhnya pendapat ini bukan hanya pendapat HT. Ulama
terdahulu telah lebih dahulu mengungkapkannya. Diantaranya adalah:
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat
Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka
menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri
dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah.”[7]
Sedang dosa bagi orang yang tidak mau berjuang menegakkan khilafah juga
telah diutarakan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani saat mengomentari hadist
:
ومن مات وليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلية
Barang siapa meninggal sedang tidak ada bai’at (imam) di pundaknya maka
dia mati dalam kondisi seperti mati jahiliyah (menanggung dosa)
(HR.Muslim no. 1851)
Beliau menyatakan:
والمراد بالميتة الجاهلية وهي بكسر الميم حالة الموت كموت أهل الجاهلية على ضلال وليس له امامٌ مطاعٌ لأنهم كانوا لا يعرفون ذلك وليس المراد أنه يموت كافرا بل يموت عاصيا
“Yang dimaksud dengan kematian jahiliyah [dengan mim dibaca kasroh]
adalah keadaan kematiannya seperti kematian masyarakat jahiliyyah di
atas kesesatan dan tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, karena
mereka belum mengenal hal tersebut. Bukan dimaksudkan mati dalam
keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” [Ibn Hajar,
Fathu-l-baariy, 13/7]
Penulis mengakui bahwa konstruksi filosofis HT memiliki kesamaan dengan
konsep para pemikir politik Muslim klasik dan abad pertengahan
seperti al Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu
Khaldun (hlm. 117)
Tanggapan:
apa yang salah dari pemikiran (ijtihad) mereka? Jika HT memiliki
kesamaan pandangan dengan ulama-ulama terdahulu karena memang berangkat
dari landasan yang sama, yaitu dalil-dalil syariat. Jika penulis
mengakui kesamaan pandangan HT dengan ulama klasik semisal Imam al
Mawardi lantas mengapa penulis sedemikain sembrono mengambil kesimpulan
bahwa ide khilafah tidak memiliki landasan normatif atau landasan
normatifnya tidak relevan?. Lebih lancang lagi penulis menyatakan
khilafah adalah proyek politik dengan tameng agama. Apakah penulis juga
sedang menuduh semua ulama yang menyatakan wajibnya khilafah/imamah
sedang mengada-ada dan memiliki motif politik dengan tameng agama?
Pada halaman 122, setelah mengekplorasi dalil wajibnya khilafah berdasarkan al quran dalam kitab
ajhizah daulah khilafah fil hukmi wal idarah, penulis berkomentar bahwa penafsiran yang dibangun dalam kitab ini menggunakan model berpikir
jumping to conclusion.
Jumping
atau loncat pada penafsiran kata hakim pada khalifah. Seakan ingin
menguatkan pendapatnya penulis kemudian kesimpulan Qamaruddin Khan,
seperti yang dikutip Khalid Ibrahim JIndan, bahwa Imam Ibnu Taimiyah
meragukan validitas pendapat tentang ke-khilafah-an yang berasal dari al
quran dan hadist, atau bahkan latar belakang sejarah khulafa
rasyidin…”. (hlm. 123)
Tanggapan:
perhatikan bagaimana penulis mengutip sebuah pendapat. Pengutipan
tingkat tiga seperti ini sangat memungkinkan terjadinya bias pemahaman
atau bahkan kesalahan. apakah karya Imam Ibnu Taimiyah sedemikian sulit
untuk didapatkan?. Sehingga harus mengutip kesimpulan Qamaruddin Khan
dalam Khalid Ibrahim Jindan.
Lebih dari itu kesimpulan Khalid Ibrahim Jindan nampaknya terlalu
gegabah. Ibnu Taimiyah telah menegaskan akan wajibnya imarah islamiyah
bedasarkan al-hadist, diantaranya saat beliau mengambil kesimpulan
tentang wajibnya imarah (kepemimpinan) beliau menyatakan
يجب أن يعرف أن ولاية الناس من أعظم واجبات الدين بل لا قيام للدين إلا
بها، فإن بني آدم لا تتم مصلحتهم إلا بالاجتماع لحاجة بعضهم إلى بعض، ولا
بد لهم عند الاجتماع من رأس، حتى قال النبي صلى الله عليه وسلم {إذا خرج
ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم} ، رواه أبو داود، وروى الإمام أحمد في
المسند عن عبد الله بن عمرو، أن النبي قال: {لا يحل لثلاثة يكونون بفلاة
من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم} فأوجب صلى الله عليه وسلم تأمير الواحد
في الاجتماع القليل العارض في السفر، تنبيها على سائر أنواع الاجتماع،
ولأن الله - تعالى - أوجب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ولا يتم ذلك
إلا بقوة وإمارة[8]
Pada halaman 123-124 penulis mengutip pendapat Husayn Haikal yang
menyatakan Al Quran dan al Hadist tidak mempunyai hubungan langsung
dengan sistem pemerintahan. Lebih berani lagi pendapat Qamaruddin Khan
yang menyatakan bahwa konsep Negara sama sekali tidak ada dalam al
quran. Ditambah pendapat ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang menyakan bahwa Islam
tidak tidak memiliki konsep sistem pemerintahan, semuanya diserahkan
pada akal manusia menurut eksperimentasi umat terdahulu dan berdasarkan
ilmu politik.
Tanggapan:
Penulis mengetahui persis bahwa pendapat yang dikutip tidaklah popular
dan keluar dari mainstrim pemikiran Islam. Penulis pada catatan kaki
mengetahui persis bahwa buku-buku yang dia jadikan rujukan telah
mendapat kritik dari banyak ulama.[9] Tapi anehnya penulis tidak
mempertimbangkan sama sekali padangan ulama yang mengkritik buku yang
ia kutip, khususnya buku al islam wa ushul al hukm karya ‘Ali ‘Abd
al-Raziq. Inikah sikap ilmiah seorang peneliti?. Semestinya penulis
memaparkan pendapat mereka juga. Baru kemudian mengambil kesimpulan.
Meski kesimpulan tidak penulis sampaikan pada halaman-halaman ini.
Namun pemaksaan ide penggiringan opini ini jelas nampak pada bagian
penutup, bahwa khilafah tidak memiliki landasan normatif baik al quran,
as sunnah, dan ijma shahabat.
Saya tambahkan bahwa ‘Ali ‘Abd ar-Raziq karena buku yang ditulisnya[10]
telah dikeluarkan dari Univ. al Azhar Kairo Mesir, semua gelar
akademiknya dicabut. keputusan ini diputuskan oleh semua panitia yang
terdiri dari 24 ulama Besar al Azhar pada hari Rabu, 15 Muharram 1344 H
bertepatan Agustus 5 Agustus 1925. [11]
Mengenai hubungan Islam dan Negara. Prof. Dhiyau ad diin ar raiis
mengutip pendapat beberapa ahli sejarah barat yang secara jujur
mengatakan bahwa islam adalah agama yang memiliki konsep politik
termasuk Negara [12]. Berikut saya kutipkan sebagiannya:
Prof. C. A. Nallino menyatakan: Sungguh Muhammad telah meletakkan dasar
agama dan Negara secara bersamaan (Encyclopaedia of Social Sciences.
Vol. VIII p. 333)
Dr. Schacht menyatakan: …sejumlah pendapat menyatakan bahwa Islam
adalah sistem yang sempurna yang mencakup agama sekaligus Negara (The
Encyclopaedia of Islam, IV, p. 350)
Prof. R. Strothmann: Islam jelas ssebuah agama dan politik…
(Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional
Theory. (New York 1903) p. 67)
Prof. D. B. Macdonal: di Madinah terbentuklah Negara Islam pertama,
disana diletakkan prinsif-prinsif dasar bagi perundangan yang Islami.
(The Caliphate. Oxford 1924, p. 30)
Sir. Thomas Arnold: Nabi saw. Pada waktu yang bersamaan adalah pemimpin
agama sekaligus pemimpin Negara (Muhammedanism. 1924, p. 3)
Jika ilmuwan dan peneliti Barat dengan jujur mengakui bahwa Islam
memiliki konsep politik kenegaraan, mengapa justru penulis justru
memilih pendapat yang aneh dan nyeleneh ala ‘Ali ‘Abd al Raziq?
Yang aneh lagi adalah, kaum liberal sering mengkritik kalangan yang
mereka istilahkan sebagai kelompok fundamentalis sebagai penganut
mazdhab literalis-tektualis. Tetapi saat mereka menafsirkan ayat-ayat
al quran tentang wajibnya imamah mereka lebih-lebih sangat
literalis-tekstual. Memang benar tidak ada ayat yang secara tekstual
menyebutkan
“aqimuu al khilafah” atau ayat
“kutiba ‘alaikum al khilafah”
akan tetapi banyak ayat yang memerintahkan untuk menerapkan
hukum-hukum hudud, jihad, dsb. Hukum-hukum ini tidak akan terlaksana
tanpa institusi pelaksananya. Hadist-nabi kemudian menjelaskan bahwa
nama sistem pelaksana (sistem pemerintahan) yang digariskan Islam
adalah khilafah. Jadi
clear, bahwa al quran mewajibkan adanya
sistem pemerintahan yang menerapkan hukum-hukum Allah kemudian hadist
menjelaskan bahwa sistem itu adalah khilafah.
Pandangan literalis-teklualis dan cenderung parsial dalam memahami nash
juga Nampak pada saat penulis mengomentari dalil wajibnya khilafah
berdasarkan hadist Nabi saw (hlm 126). Jelas untuk mengambil kesimpulan
tidak cukup hanya mendasarkan pada satu hadist. Pada saat HT
menjelaskan tentang wajibnya membai’at imam berdasarkan hadist:
ومن مات وليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهلية
Barang siapa meninggal sedang tidak ada bai’at (imam) di pundaknya maka
dia mati dalam kondisi seperti mati jahiliyah (menanggung dosa) (HR.
Muslim no. 1851)
Lalu HT mengambil kesimpulan bahwa imam yang dimaksud adalah khalifah,
karena Nabi juga menjelaskan bahwa imam yang dimaksud adalah khalifah.
Diantara dalilnya adalah:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَ
Jika dibait dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR. Muslim dari Abu Sa’id al Khudri).
Ibnu Hajar saat mengomentari hadist ini (HR. Muslim no. 1851) juga
menegaskan bahwa yang dimaksud dalam hadist ini adalah bai’at terhadap
imam/khalifah sebagaimana yang saya kutip di atas.
Selanjutnya mengenai bai’at kepada khalifah. Penulis sependapat dengan
pendapat Murtadha al ‘Askari yang menyatakan bahwa bai’at ada beberapa
bentuk dan tidak hanya terbatas pada bai’at pengangkatan khalifah (hlm
127).
Tanggapan:
nampaknya penulis menyelisihi pendapat ahlu sunnah dalam hal hukum
bai’at. Mengapa? karena para fuqaha ahlu sunnah telah berijma bahwa
bai’at adalah akad antara umat dengan khalifah (hakim). Syaikh Dr. Ahmad
Fuad ‘Abdul Jawad dengan mengutip pendapat Ibnu Khaldun menyatakan:
و من هنا جاء إجماع فقهاء أهل السنة علئ أن البيعة عقد بين الأمه و بين الخليفة (الحاكم), و سمي عقد الخلافة (الحكم)
Dari sini terdapat ijma fuqaha ahlu sunnah bahwa bai’at adalah akad
antara ummat dengan khalifah (al haakim) dan dinamakan akad khilafah
(alhukm)[13]
Bai’at terhadap nabi jelas untuk pegangkatan beliau sebagai kepala
negara bukan sebagai Nabi. Buktinya Nabi tidak melalukan bai’at pada
masa-masa awal Islam kepada shahabat yang masuk Islam. Jika ada yang
berhujjah saat itu syariat bai’at belum diturunkan. Jika asumsi ini
benar. Mengapa tidak dilakukan bai’at terhadap sahabat yang telah
beriman lebih awal?. Pendapat yang benar adalah keimanan terhadap
risalah yang beliau bawa dan atas kenabian beliau cukup dengan dengan
syahadatain, sebagaimana dijelaskan dalam banyak riwayat.
Adapun adanya bai’at aqabah I dan II yang penulis nyatakan bukan bai’at
untuk pengangkatan Nabi sebagai kapala negara dengan alasan Rasul
belum hijrah dan negara Islam belum berdiri (hlm. 127).
Tanggapan: justru karena negara islam belum berdiri itulah ahlu nushrah
(suku Aus dan Khazraj) membai’at Nabi saw sebagai pemimpin mereka.
Atas jaminan mereka pada bai’at aqabah II itulah maka Rasul hijrah ke
Madinah. Penulis sendiri mengakui dengan mengutip pendapat Murtadha al
‘Askari bahwa peristiwa ini (bai’at Aqabah II) adalah wujud bai’at
untuk menegakkan Daulah islamiyyah (hlm 127-128). Jadi, bagaimana bias
seorang peneliti mengambil kesimpulan yang berbeda dengan referensi
yang dikutipnya?
Adapun bai’at aqabah I sejatinya adalah bai’at persiapan menuju bai’at
Aqabah II. Mengapa? karena 12 orang yang berbai’at pada bai’at ini[14]
adalah yang juga berbai’at pada bai’at Aqabah II. Dengan kata lain
bai’at Aqabah I disempurnakan dengan bai’at Aqabah II, karena belum ada
jaminan keamanan untuk melindungi Nabi sebagai kepala Negara. Dalam
bai’at II ini juga jelas bahwa Nabi akan hijrah ke Madinah setelah ada
jaminan dari
ahlu nushroh (suku Aus dan Khazraj).
Selanjutnya penulis mempersoakan ijma sahabat dalam peristiwa Saqifah
Bani Sa’idah. [15] Perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai
siapa penganti Nabi dieksplorasi sedemikian rupa oleh penulis untuk
membantah bahwa shahabat telah berijma (hlm. 131-135).
Tanggapan: kekeliruan penulis nampak fatal disini. HT mentabanni bahwa
sahabat telah berijma tentang wajibnya mengangkat pengganti Nabi dalam
perkara kepemimpinan politik. Sebagaimana yang diungkapkan Imam Ibnu
Hajar al Haitsami:
اعلم أيضًا أن الصحابة رضوان الله عليهم أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب ، بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله
“Ketahuilah juga bahwa para sahabat telah berijma’ bahwa mengangkat
Imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka
menjadikannya kewajiban paling penting karena mereka menyibukkan diri
dengannya dengan menunda penguburan Rasulullah.” [16]
Perbedaan pendapat yang terjadi diantara shahabat adalah siapa yang
akan menjadi imamnya. Imam/khalifah yang akan menggantikan Rasulullah.
Karena dalam pandangan sunni tidak ada dalil yang menjelaskan penetapan
orang tertentu sebagai khalifah. [17] Pada saat mengomentari hadist
desakan sebagian shahabat kepada Umar agar menunjuk penggantinya, Umar
lalu menolaknya, Imam an Nawawi menyatakan:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث : دَلِيل أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَنُصّ عَلَى خَلِيفَة ، وَهُوَ إِجْمَاع أَهْل السُّنَّة وَغَيْرهَا
Pada hadist ini terdapat petunjuk bahwa Nabi saw tidak menetapkan
khalifah (personnya). Ini adalah kesepakatan ahlu sunnah dan yang
lainnya.[18]
Pendapat ini juga merupakan pendapat HT. Syaikh Taqiyuddin dalam bab
yang paling panjang dalam kitab asy syakhshiyyah Islamiyyah juz II
menuliskan judul:
لم يعين الشرع شخصاً معيناً للخلافة
Syariat tidak menetapkan person tertentu bagi khilafah[19]
Tentang terjadinya perpecahan di kalangan shahabat menjadi tiga faksi
yaitu faksi Ansharpimpinan Sa’ad bin ‘Ubadah, Faksi pimpinan Abu Bakar
dan Umar, dan faksi pimpinan ‘Ali bin Abi Thalib (hlm. 133).
Tanggapan: kalangan Anshar dalam peristiwa Saqifah setelah mendapat
penjelasan dari Umar akhirnya menbai’at Abu Bakar hanya Sa’ad bin
‘Ubadah yang tidak mau membai’atnya.[20]
Imam as Sututhi mengutip riwayat Imam an Nasaai, Abu Ya’la dan al Hakim
–ia menyataka keshahihahnnya- meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia
berkata:
قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم قالت الأنصار منا أمير ومنكم أمير فأتاهم عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقال يا معشر الأنصار ألستم تعلمون أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد أمر أبا بكر أن يؤم الناس فأيكم تطيب نفسه أن يتقدم أبا بكر فقالت الأنصار نعوذ بالله أن نتقدم أبا بكر.
”Tatkala Rasulullah telah dipanggil Allah ke hadirat-NYa, orang-orang
Anshar berkata: ‘Dari kami ada seorang pemimpin dan dari kalian ada
seorang pemimpin. Kemudian Umar mendatangi mereka dan berkata,’Wahai
kaum Anshar tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah telah memerintahkan
Abu Bakar menjadi Imam shalat pada saat hidupnya. Lalu siapa di antara
kalian yang merasa dirinya berhak untuk maju mendahului Abu Bakar?’
Orang-orang Anshar berkata,’kami merlindung kepada Allah untuk maju
mendahului Abu Bakar’[21]
Mengenai Ali yang tidak terlibat dalam perdebatan di Saqifah. Bukan
berarti Ali berada pada faksi yang berbeda. Justru Ali marah karena
tidak dilibatkan dalam perdebatan tersebut. Ali juga menegaskan
seandainya ia dilibatkan tentu ia akan membai’at Abu Bakar. Ali dan
Zubair berkata,” Dan kemarahan kami tidak lain karena kami tidak
dilibatkan dalam musyawarah. Sesungguhnya kami memandang bahwa Abu
Bakar adalah orang yang paling berhak untuk memangku jabatan khalifah.
Karena sesungguhnya ia adalah teman Rasulullah di dalam gua dan kami
mengetahui kemualiaannya. Rasulullah telah memerintahkannya menjadi Imam
shalat saat beliau masih hidup[22]
Selanjutnya penulis mempersoalkan gelar
khalifatu rasulillah
bagi Abu Bakar. Menurutnya gelar tersebut tidak ada hubungannya dengan
persoalan politik atau kepemimpinan. Tetapi hanya terkait tentang
keutamnaan Abu Bakar sebagai
khalifah Rasul ‘ala shalat (hlm. 137)
Tanggapan:
Istilah khalifah rasulillah juga dipakai dalam kontek kepemimpinan.
Setelah terbai’atnya Abu Bakar, dia kemudian naik ke atas mimbar untuk
berkhutbah, namun ia tidak melihat Zubair. Maka beliau memerintahkan
untuk memanggilnya. Setelah Zubair datang Abu Bakar berkata: ”Engkau
adalah anak bibi Rasulullah dan seorang
hawari Rasulullah apakah engkau ingin mengoyak-ngoyak kesatuan kaum muslimin?”. Zubair menjawab:
لا تثريب يا خليفة رسول الله فقام فبايعه
Tidak wahai khalifah rasulillah, ia lalu berdiri dan membai’at Abu Bakar
Saat Abu Bakar tidak melihat Ali maka ia mengutus orang untuk
memanggilnya dan menanyakan hal sama seperti pada Zubair. Ali lalu
menjawab:
لا تثريب يا خليفة رسول الله فبايعه.
Tidak wahai khalifah rasulillah, ia lalu berdiri dan membai’at Abu Bakar[23]
Kesimpulan
KEWAJIBAN MENEGAKKAN KHILAFAH MEMILIKI LANDASAN NORMATIF BAIK AL QUR’AN, AS SUNNAH, DAN IJMA’ SHAHABAT
Bersambung ke bagian kedua [
al-khilafah.org]
Banjarmasin, 26 Jumadil Akhir 1433 H
Al Faqir ila ALLAH Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
===========================
[1] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/07/29/hizbut-tahrir-wahabi/
[2] Dikutip penulis dari kitab
afkaru siyasiyah hlm. 132
[3] Dikutip penulis dari kitab Mitsaq al-Ummah, pembahasan serupa bisa
didapatkan dalam kitab asy syakhshiyyah al islamiyyah juz II
[4] Hizbut Tahrir,
Ajhizah daulah khilafah (fi al hukmi wa al idarah), hlm. 7
[5]Tafsir Ibnu Katsir, 2/416
[6] al ahkam as sulthaniyah, hlm. 6
[7] Imam Ibn Hajar Haitami,
Ash Shawaiqul Muhriqah, h. 7
[8] As-Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 33
[9] Diantara yang mengkritik buku ini adalah
naqdhu ‘ilmiy li kitab al islam wa ushul al-hukmi karya al ‘allamah asy syaikh Muhammad ath thahir ibn ‘aasyur dan
kitab an nazhriyyat as siyasiyah al islamiyah
karya syaikh dhiyau ad diin ar raiis beliau adalah Profesor dan ketua
Jurusan Sejarah Islam di Fakultas Darul ‘Uluum Univ. Kairo
[10] Buku yang berjudul
al Islam wa ushul al hukmi. Buku ini
pertama kali terbit pada bulan April 1925. Saya sebut buku ini tidak
popular dan keluar dari mainstrim pemikiran Islam karena pada tahun
yang sama umat sedunia akan berkumpul di Kairo Mesir untuk
mengembalikan Khilafah yang baru saja diruntuhkan oleh Penjajah
khususnya Inggris melalui anteknya Mustafa Kamal. Di tengah suasana
gegap gempita untuk mengembalikan khilafah itulah justru ‘Ali ‘Abdur
al-Raziq menerbitkan buku itu.
[11] Lihat raddu haiah kibar al ulama ‘ala kitab al islam wa ushul al hukmihlm. 7
[12]
an nazhriyyat as siyasiyah al islamiyah hlm. 29
[13]
Al Bai’at ‘inda mufakkiri ahli sunnah wal ’aqdu al ijtima’I fil fikri as siyasiy al hadiist hlm. 17
[14] Bai’at Aqabah I disebut juga bai’at an nisa karena belum disyariatkannya perang
[15] Tsaqifah adalah tempat diputuskan persoalan-persoalan penting
bagi penduduk Madinah, persis seperti daar an Nadwah di Makkah
[16]
Imam Ibn Hajar Haitami, Ash Shawaiqul Muhriqah, h. 7
[17] Bebeda dengan pandangan Syiah yang menyatakan bahwa Syariat telah menetapkan orang tertentu sebagai khalifah
[18] An-Nawawi, Syarhu al Muslim , 6/291
[19]
Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II hlm. 54
[20]
An Nazdriayat as Siyasah al Islamiyah hlm. 42
[21]
Tarikh Khulafa’, hlm. 26 (maktabah syamilah)
[22] Ibid, hlm. 27
[23] Ibid , hlm 26